ID NEWS INFO - Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah
Singaparna Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun
1943. Dia menolak dengan tegas ajaran yang berbau Jepang, khususnya kewajiban
untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar
Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Kewajiban
Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena termasuk
perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu diapun tidak tahan melihat penderitaan
rakyat akibat tanam paksa.
sejarah singaparna |
KH Zainal Mustafa lahir di Desa Cimerah, Kecamatan
Singaparna, Tasikmalaya pada tahun 1899 dari pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah.
Pada 1927 KH Zainal Mustafa mendirikan pesantren yang merupakan cita-citanya.
Pesantren yang ia dirikan dinamai Persantren Sukamanah.
Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah
mempersiapkan para santrinya yang telah dibekali ilmu beladiri untuk mengepung
dan mengeroyok tentara Jepang, yang akhirnya mundur ke Tasikmalaya.
Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya
untuk mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944,
terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat
Jumat. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan, namun KH. Zainal
Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian dibawa ke
Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol.
Faktor Pendorong Pemberontakan Singaparna
Peristiwa pemberontakan Singaparna mempunyai dasar keagamaan
dan kebangsaan yang kuat. Cita-cita negara islam dijunjung tinggi di dalam hati
setiap rakyat sesuai dengan ajaran agama yang diajarkan. Demikian pula semangat
kemerdekaan sangat tebal dalam masyarakat Singaparna, yang terkenal kebenciannya
terhadap penjajahan. Pada masa kolonial Belanda pun daerah ini mendapat
pengawasan yang keras. Rakyat teguh beragama, tetapi teguh pula memegang
kebangsaannya.
Di atas dasar-dasar inilah tumbuh alasan-alasan untuk
memberontak terhadap totiliter Jepang. Adanya “Seikrei” yaitu mebungkuk
(menghormat) kearah Tokyo. Hal inilah yang sangat dibenci oleh santri-santri
karena berarti mereka disuruh untuk menyembah matahari. Cara menyembah ini
melukai hati umat yang beragama islam, seolah-olah merubah arah qiblat dari
Tanah Suci ke Jepang. Cita-cita “Dairul Islam”, yang telah meluas dan mendalam
di kalangan rakyat, tidaklah mungkin mengalah kepada gerakan “seikrei” ini yang
dilakukan oleh pemerintah Jepang pada tiap upacara.
Api perlawanan suci yang telah menyala sedemikian dalam hati
penganut islam di daerah ini, ditumpahi pula oleh kekejaman romusha dan
pengumpulan padi dan beras soal romusha sangat diderita oleh rakyat sebagai
pekerja paksaan di bawah ancaman bayonet, yang amat mengganggu dalam
kekeluargaan dan kedesaan. Demikian pula soal pengumpulan padi, Jepang sama
sekali tidak memerhatikan kesengsaraan hidup rakyat desa. Akibat perintah keras
dari militer Jepang terjadilah pemungutan dari syucokan melalui kenco (bupati),
gunco bahan makanan kini menderita kekurangan. Para petani tidak dapat lagi
merasakan hasil keringatnya, karena hampir seluruh hasilnya diangkut oleh
pemerintah Jepang.
0 Response to "Sejarah peristiwa pemberontakan singaparna"